A. Pengertian Peraturan
Perundang-undangan
Peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mempunyai kekuatan yang mengikat.
Tujuan undang-undang dan peraturan negara adalah untuk mengatur dan menertibkan setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan undang-undang atau peraturan, kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih tertib. Peraturan perundang-undangan dan peraturan memiliki kekuatan mengikat. Seseorang yang melanggar peraturan dan undang-undang, akan dikenai sanksi atau hukuman. Hukuman itu dapat berupa denda ataupun kurungan penjara. Kita sebagai warga negara harus taat kepada peraturan yang sudah dibuat ataupun diberlakukan oleh negara.
Tujuan undang-undang dan peraturan negara adalah untuk mengatur dan menertibkan setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan undang-undang atau peraturan, kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih tertib. Peraturan perundang-undangan dan peraturan memiliki kekuatan mengikat. Seseorang yang melanggar peraturan dan undang-undang, akan dikenai sanksi atau hukuman. Hukuman itu dapat berupa denda ataupun kurungan penjara. Kita sebagai warga negara harus taat kepada peraturan yang sudah dibuat ataupun diberlakukan oleh negara.
B. Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku di Indonesia
1.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang
Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar tertulis Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi. Menurut L.J. van Apeldoorn,
Undang-Undang Dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi. Sementara itu
E.C.S. Wade menyatakan, bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan
rangka dan tugas-tugas pokok dan badan-badan pemerintahan suatu negara dan
menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Sementara itu, Miriam
Budiardjo, menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan
mengenai organisasi negara, hak-hak asasi manusia, prosedur mengubah UUD, dan
memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.
Dengan
ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi negara Republik
Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan
suatu bentuk konsekuensi dikumandangkannya kemerdekaan yang menandai berdirinya
suatu negara baru. Ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 juga merupakan suatu
ujud untuk memenuhi keharusan kemandirian suatu negara yang tertib dan teratur.
Disamping itu dapat dikatakan pula suatu tindakan pemenuhan guna mengisi dan
mempertahankan kemerdekaan. Dengan adanya Undang-Undang Dasar 1945 dapat dikatakan
sebagai wujud untuk mengisi kemerdekaan, karena sudah menyatakan diri sebagai
negara baru yang merdeka dengan tata hukumnya sendiri. Adanya Undang-Undang
Dasar 1945 juga merupakan upaya mempertahankan kemerdekaan melalui ketentuan
normatif yang mengikat seluruh rakyat dan para penyelenggara negara maupun
seluruh bangsa-bangsa di dunia untuk menghormati dan menghargai kemerdekaan
bangsa Indonesia.
Undang-Undang Dasar pada umumnya berisi hal-hal sebagai
berikut:
a.
Organisasi negara,
artinya mengatur lembaga-lembaga apa saja yang ada dalam suatu negara dengan
pembagian kekuasaan masing-masing serta prosedur penyelesaian masalah yang
timbul diantara lembaga tersebut.
b.
Hak-hak asasi manusia
c.
Prosedur mengubah Undang-Undang Dasar,
d.
Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat
tertentu dari undang-undang dasar, seperti tidak dikehendaki terulangnya
kembali munculnya seorang dictator atau kembalinya pemerintahan kerajaan yang
kejam misalnya.
e.
Sering pula memuat
cita-cita rakyat dan asas-asas ideology negara.
Dalam tata peraturan perundang-undangan di negara
Indonesia, menurut Miriam Budiardjo (1981:106-107) Undang-Undang Dasar 1945
mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan undang-undang lainnya,
hal ini dikarenakan:
·
UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan
pembentukan UU biasa,
·
UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap sesuatu yang
luhur,
·
UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia
dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa
·
UUD memuat garis besar tentang dasar dan tujuan negara
Sejak era
reformasi UUD 1945 telah mengalami perubahan, yaitu sebanyak 4 (empat) kali
yang dilakukan melalui sidang-sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perubahan
atau amandemen pertama dilakukan tanggal 12 Oktober 1999, perubahan kedua
tanggal 18 Agustus 2000, perubahan ketiga tanggal 9 November dan puncaknya
perubahan keempat yang dilakukan melalui sidang paripurna MPR tanggal 10
Agustus 2002. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan dalam upaya menjawab tuntutan
reformasi di bidang politik dan/atau ketatanegaraan.
Dilihat dari
jumlah bab, pasal, dan ayat, hasil perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut.
Sebelum
Perubahan
|
Hasil
Perubahan
|
Jumlah
bab 16
|
Jumlah
bab 21
|
Jumlah
pasal 37
|
Jumlah
pasal 73
|
Terdiri
dari 49 ayat
|
Terdiri
dari 170 ayat.
|
4
pasal aturan peralihan
|
3
pasal aturan peralihan
|
2
ayat Aturan Tambahan
|
2
Pasal Aturan Tambahan.
|
Dilengkapi
dengan penjelasan.
|
Tanpa
penjelasan
|
Dikaji
dari struktur kelembagaan banyak mengalami perubahan, baik dilihat dari fungsi
maupun kedudukan lembaga kenegaraan, bahkan ada yang dihilangkan, tetapi juga ada
yang baru. Lembaga yang dihilangkan tersebut adalah Dewan Pertimbangan Agung,
sedangkan lembaga yang baru adalah Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu perubahan yang nampak adalah adanya perubahan sistem pemilihan
presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung.
2. Undang-undang
Undang-undang
merupakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UUD 1945.Lembaga yang
berwenang membuat UU adalah DPR bersama Presiden. Adapun kriteria agar suatu
permasalahan diatur melalui Undang-Undang antara lain adalah;
a.
UU dibentuk atas
perintah ketentuan UUD 1945,
b.
UU dibentuk atas
perintah ketentuan UU terdahulu,
c.
UU dibentuk dalam
rangka mencabut, mengubah, dan menambah UU yang sudah ada,
d.
UU dibentuk karena
berkaitan dengan hak asai manusia,
e.
UU dibentuk karena
berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang banyak.
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU)
dibentuk oleh presiden tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR. Hal ini
dikarenakan PERPU dibuat dalam keadaan “darurat” atau mendesak dalam arti
persoalan yang muncul harus segera ditindaklanjuti. Namun demikian pada akhirnya
PERPU tersebut harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Jadi bukan
berarti presiden dapat seenaknya mengeluarkan PERPU, karena pada akhirnya harus
diajukan kepada DPR pada persidangan berikutnya. Sebagai lembaga legislatif,
DPR dapat menerima atau menolak PERPU yang diajukan Presiden tersebut,
konsekuensinya kalau PERPU tersebut ditolak, maka harus dicabut, dengan kata
lain harus dinyakan tidak berlaku lagi.
4. Peraturan
Pemerintah
Untuk melaksanakan suatu undang-undang, maka
dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah. Jadi Peraturan Pemerintah tersebut
merupakan bentuk pelaksanaan dari suatu undang-undang. Adapun kriteria
untuk dikeluarkannya Peraturan Pemerintah adalah sebagai berikut :
a.
PP tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya,
b.
PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, jika UU induknya
tidak mencantumkan sanksi pidana,
c.
PP tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU
induknya,
d.
PP dapat dibentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak
menyebutkan secara tegas, asal PP tersebut untuk melaksanakan UU.
5. Peraturan
Presiden
Sesuai
dengan kedudukan Presiden menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan yang dibuat oleh Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peraturan
Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah baik secara tegas maupun tidak tegas
diperintahkan pembentukannya. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi
yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah.
6. Peraturan
Daerah
Peraturan
Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Propinsi dan
Kabupaten dan/atau Kota. Masuknya Peraturan Daerah dalam hirarki/tata Urutan
peraturan perundang-undangan sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah dibuat untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu
Peraturan Daerah dibuat dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah.
Dengan demikian kalau Peraturan Daerah tersebut dibuat sesuai kebutuhan daerah,
dimungkinkan Perda yang berlaku di suatu daerah Kabupaten/Kota belum tentu
diberlakukan di daerah kabupaten/kota lain.
Materi
muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Dengan
demikian makna Makna Tata Urutan (hierarki) Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi serta materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang
bersangkutan.
C. Asas-Asas Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
Asas
adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan
bertindak. Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau sesuatu
yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Padanan
kata asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam
berpikir, berpendapat dan bertindak.
Dalam
menyusun peraturan perundang-undangan banyak para ahli yang mengemukakan
pendapatnya. Meskipun berbeda redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu
mengarah pada substansi yang sama. Berikut ini akan dikemukakan beberapa
pendapat ahli, kemudian penulis akan mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian
kelompok asas utama (1) asas materil atau prinsip-prinsip substantif; dan (2)
asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Prof.
Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto, memperkenalkan enam asas
sebagai berikut:
a.
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non
retroaktif);
b.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang
lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
c.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus
menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis
derogat lex generalis);
d.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan
membatal-kan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex
posteriori derogate lex periori);
e.
Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
f.
Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal
mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat
maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Hampir
sama dengan pendapat ahli sebelumnya Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas,
sebagai berikut:
a.
Asas tingkatan hirarkhi;
b.
Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
c.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyam-pingkan
UU yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
d.
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
e.
UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex posteriori
derogat lex periori).
Pendapat
yang lebih terperinci di kemukakan oleh I.C van der Vliesdi mana asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu asas
formal dan asas materil.
Asas formal mencakup:
a.
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke
doelstelling);
b.
Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste
organ);
c.
Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d.
Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van
uitvoorbaarheid);
e.
Asas konsensus (het beginsel van consensus).
Sedangkan yang masuk asas materiil
adalah sebagai berkut:
a.
Asas terminologi dan sistimatika yang benar (het beginsel
van duitdelijke terminologie en duitdelijke systematiek),
b.
Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c.
Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechsgelijkheids beginsel);
d.
Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e.
Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het
beginsel van de individuale rechtsbedeling).
Pendapat
terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria
Farida, yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang–undangan
Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh
cita negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan
sebagai bintang pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana
sebuah negara menganut paham konstitusi.
Lebih
lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika dihubungkan pembagian
atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut :
a.
Asas–asas formal:
1.
Asas tujuan yang jelas.
2.
Asas perlunya pengaturan.
3.
Asas organ / lembaga yang tepat.
4.
Asas materi muatan yang tepat.
5.
Asas dapat dilaksanakan.
6.
Asas dapat dikenali.
b.
Asas–asas materiil:
1.
Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara.
2.
Asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3.
Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.
4.
Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dalam
Islam, prinsip-prinsip perumusan peraturan perundang-undangan (qanun) juga
telah lama diperkenalkan oleh ahli Islam seperti Al Ghazali, Ibnu al Qayyim al
Jauziyah, dan tokoh-tokoh kontemporer lainnya. Beberapa prinsip itu antara
lain:
a.
Pluralisme (al ta’addudiyyah); suatu prinsip keanekaragaman, di mana
setiap peraturan perundang-undangan yang disusun harus menghargai,
mengakomodasi keberagaman di suatu komunitas.
b.
Nasionalitas (muwathanah); spirit nasionalisme yang melandasi bangunan
bangsa Indonesia harus menjadi batu pijak dan poros dalam perumusan kebijakan
(meskipun ia berbasis pada syariat Islam).
c.
Penegakan hak asasi manusia (iqamat al huquq al Insaniyah); menurut Imam
Ghazali adalah bahwa perumusan kebijakan dioreintasikan pada komitmen untuk
melindungi hak-hak kemanusiaan. hak asasi manusia juga diacu sebagai landasan
perumusan materi kebijakan.
Terdapat enam hak
yang dikenal dalam disiplin Syariat Islam:
a.
Hak untuk hidup (hifdz al nafs aw al hayat)
b.
Hak kebebasan beragama (hifdz a din)
c.
Hak kebebasan berfikir (hifdz al aqli)
d.
Hak properti (hifdz al maal)
e.
Hak untuk mempertahankan nama baik (hifdz al irdh)
f.
Hak untuk memiliki garis keturunan (hifdz al nasl)
d.
Demokratis: secara prinsipil nilai-nilai Islam berkesesuaian (compatibel)
dengan nilai-nilai demokrasi. Beberapa di antaranya:
a.
Egalitarianisme (al musawah)
b.
Kemerdekaan (al hurriyyah)
c.
Persaudaraan (al ukhuwwah)
d.
Keadilan (al adalah)
e.
Musyawarah (al syuro)
f.
Kemaslahatan (al mashlahah)
Ibnu
al Qayyim al Jauziyah menyebutkan bahwa syariat Islam itu dibangun untk
mewujudkan nilai-nilai universal seperti: al mashlahah (kemaslahatan), al
adalah (keadilan), al rahmat (kasih sayang), al hikmah
(kebijaksanaan).
e.
Kesetaraan dan keadilan gender: setiap kebijakan disusun tidak boleh membedakan
setiap jenis kelamin. Ia harus mengakomodasi dan mensetarakan gender.
Berbagai
pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya menunjuk pada
bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, baik dari segi materi-materi
yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan, cara atau teknik
pembuatannya, akurasi organ pembentuk, dan lain-lain. Untuk memudahkan
pemahaman, di bawah ini akan diuraikan penjelasan asas-asas itu yang
dikelompokkan ke dalam 3 bagian asas yang harus dipenuhi. Uraian berikut ini
sebagian besar mengacu pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan, dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi dari uraian
para ahli.
1. Asas-asas Hukum Umum
a.
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
peraturan perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian,
mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan
masyarakat. Sebagai contoh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang
digunakan untuk mengadili peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
di Timor Timur yang terjadi pada 1999.
b.
Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior);
peraturan perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih
tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hirarkhi norma dan peraturan
perundang-undangan.
c.
Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);
sebagai contoh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh adalah lex
specialis yang banyak mengesampingkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
d.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex
periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat
klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan
menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis yang sebelumnya digunakan,
kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.
2. Asas
Material/ Prinsip-prinsip Substantif
Secara
umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai substansi/
materi muatan peraturan perundang-undangan adalah (1) nilai-nilai hak asasi
manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah tercantum di dalam konstitusi;
jaminan integritas hukum nasional; dan (3) peran negara versus masyarakat dalam
negara demokrasi.
Ketiga
prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
a.
Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketenteraman masyarakat.
b.
Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat.
c.
Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia
yang pluralistik.
d.
Bhinneka Tunggal Ika; memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya.
e.
Keadilan; memuat misi keadilan.
f.
Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan akses
dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
g.
Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban
melalui jaminan hukum.
h.
Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan
antara kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan
negara.
i.
Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang
memberikan keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan mengenai
tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan.
j.
Antidiskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik
langsung maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, suku,
agama, dan identitas sosial lainnya.
k.
Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak
dicapai, akurasi pemecahan masalah.
l.
Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
m.
Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki
peraturan perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan kewenangan
yang telah diberikan oleh undang-undang.
n.
Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara
filosofis, yuridis, dan sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.
o.
Kedayagunaan dan kehasilgunaan; peraturan perundang-undangan
harus memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat, memberikan daya guna
dan hasil guna.
p.
Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang
mudah dimengerti dan tidak multitafsir.
q.
Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara
holistik dan tidak parsial.
r.
Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan
disusun untuk menjawab persoalan umum dan menjangkau masa depan (futuristik),
tidak hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa tertentu.
s.
Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang
pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus menyediakan mekanisme penegakan
hukum yang fair.
t.
Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan
perundang-undangan harus memuat
klausul yang memungkinkan peninjauan kembali bagi koreksi dan evaluasi untuk
perbaikan.
3. Asas formal/
Prinsip-prinsip Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Proses
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi asas atau
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
Aksessibilitas dan keterbukaan; proses
pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi perencanaan, persiapan,
pembentukan, dan pembahasan harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh
setiap orang.
b.
Akuntabilitas; proses peraturan perundang-undangan
harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka yang meliputi: akurasi
perencanaan kerja, kinerja lembaga legislatif dan eksekutif, serta pembiayaan.
c.
Partisipasi publik; proses pembentukan peraturan
perundang-undangan membutuhkan kemampuan menangkap aspirasi dan kekhawatiran
publik; kecermatan memahami masalah secara akurat; serta kapasitasnya menemukan
titik-titik konsensus antara berbagai pengemban kepentingan tentang suatu isu
atau permasalahan, termasuk penyediaan mekanisme partisipasi dan pengelolaan aspirasi.
d.
Ketersediaan kajian akademik; proses
pembentukan peraturan perundang-undangan harus didahului dengan kajian mendalam
atas masalah yang dihadapi atau hal-hal yang hendak diatur, yang biasanya
dituangkan dalam bentuk draft akademik.
e.
Kekeluargaan; proses pengambilan kesepakatan
diupayakan dengan jalan musyawarah.
D. Sumber-Sumber
Peraturan perundang-undangan
Sumber
secara literal berarti tempat keluar, atau tempat di mana sesuatu itu diambil atau
berasal.Jika demikian, sumber pembentuk peraturan perundang-undangan adalah
segala sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, keyakinan, dan lain
sebagainya yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan norma-norma hukum yang
kemudian diadopsi menjadi muatan peraturan perundang-undangan.
Secara
teoritik, sumber peraturan perundang-undangan jika mengacu pada asas hirarkhi
adalah bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang di
atasnya. Namun demikian, dalam prakteknya, perdebatan dan kerja pembentukan
peraturan perundang-undangan bisa mengacu pada segala macam diskursus,
keyakinan, agama, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, sebagai konsekuensi
sosiologis dan beragaman yang dimiliki oleh suatu bangsa, berbagai kehendak
dan aturan yang bersumber pada keyakinan idiologisnya sah-sah saja menjadi
sumber hukum. Akan tetapi semua itu harus mengacu pada konsensus yang telah
disepakati dan dijadikan state ground norm, norma dasar negara.
Indonesia di awal kemerdekaannya hingga kini telah menyepakati bahwa Pancasila
adalah hasil dan produk konsensus nasional yang telah disepakati oleh semua
elemen bangsa melintasi batas wilayah, idiologi, agama, suku, dan lain
sebagainya.
Sumber
peraturan perundang-undangan dengan kata lain bisa disebut dengan landasan
peraturan perundang-undangan. Amiroeddin Syarief menyebut tiga kategori
landasan:
a.
Landasan filosofis, di mana norma-norma
yang diadopsi menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan mendapat
justifikasi atau pembenaran secara filosofis.
b.
Landasan sosiologis, di mana rumusan
norma-norma hukum mencerminkan kenyataan, keyakinan umum atau kesadaran hukum
masyarakat.
c.
Landasan yuridis, di mana norma-norma
yang tertuang merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang derajat hirarkhinya
lebih tinggi. Landasan yuridis dibagi menjadi dua (1) landasan yuridis formal,
yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada organ
pembentuknya; dan (2) landasan yuridis materil, yaitu ketentuan-ketentuan hukum
tentang masalah atau materi-materi yang harus diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
1. Pancasila
Pancasila
merupakan pedoman sekaligus ajaran yang telah diakui dan diyakini sebagai
pandangan dan falsafah hidup bangsa Indonesia serta sebagai dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara adalah mengikat
seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai
yang terkandung dalam setiap sila Pancasila itu memberikan arah bagi perjuangan
bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasional. Penegasan di
atas mengandung arti bahwa secara idiil tatanan masyarakat Indonesia telah
dirumuskan dalam nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila.
Posisinya yang demikian kuat, Pancasila menjadi sumber bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Di
samping sebagai sumber, Pancasila juga merupakan instrumen penyaring nilai,
norma, dan keyakinan yang lain yang hendak dijadikan peraturan
perundang-undangan nasional. Misalnya sebagian orang hendak menyusun peraturan
perundang-undangan berdasarkan nilai tertentu, yang bersumber dari agama dan
keyakinan tertentu, di sini tugas Pancasila adalah menakar apakah ia sesuai
dengan sila-sila Pancasila atau tidak. Jika tidak sesuai maka demi keutuhan
nasional dan konsensus, memilih dan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara
harus tetap dijaga. Meskipun Pancasila tidak lagi disebut sebagai sumber segala
sumber pascalahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan, karena isi Pancasila melekat dalam UUD 1945 yang menempati
hirarkhi teratas peraturan perundang-undangan, maka sesungguhnya Pancasila
tetap merupakan dasar dan inspirasi pembangunan hukum nasional.
2. Undang-Undang
Dasar 1945
Sebagai
landasan konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 merupakan norma dasar yang
harus dipedomani dalam merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan. Ia
menempati urutan pertama dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan. Karakter
konstitusi di manapun, ia merupakan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara
yang menuntut penjabaran lebih lanjut dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang di bawahnya. Di dalam diri UUD 1945 misalnya, terdapat lebih kurang 53
perintah langusng perumusan peraturan perundang-undangan. Karena itu UUD 1945
tidak hanya mendelegasikan pembentukan perundang-udangan, menuntut atribusi,
tapi juga menjadi sumber bagi perumusan peraturan perundang-undangan itu.
3. Yurisprudensi
Yurisprudensi
atau keputusan-keputusan lembaga peradilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap, juga bisa dijadikan sebagai sumber pembentukan peraturan
perundang-undangan. Meskipun keputusan hakim itu perlu diuji kebenarannya, akan
tetapi secara umum ijtihad-ijtihad (usaha penemuan hukum, rechfinding)
yang dilakukan para hakim bisa kemudian dijadikan sumber bagi perumusan
peraturan perundang-undangan.
4. Hukum Agama
Indonesia
memiliki berbagai agama dan kepercayaan. Keberadaan agama-agama dan kepercayaan
itu diakui keberadaannya oleh konstitusi. Secara sosiologis ia juga memiliki
penganut sendiri-sendiri. Setiap agama memiliki ajaran dan norma yang diyakini
dan dipeluk oleh pemeluknya masing-masing. Berbagai nilai kebenaran tersimpan
di dalam agama-agama itu. Karena keyakinannya, tak pelak, dalam praktik
pembentukan peraturan perundang-undangan, dipastikan dimensi agama akan merasuk
di dalam setiap perspektif dan pendapat pada pembuat peraturan
perundang-undangan. Namun demikian, karena tidak semua norma agama dapat
dikuailfikasi sebagai norma hukum yang diyakini kebenarannya oleh semua orang,
maka kalaupun agama menjadi sumber pembentuk peraturan perundang-undangan, ia
harus dipastikan tidak memaksakan norma non hukum dijadikan norma hukum.
Pilihan
untuk tidak memaksakan norma non hukum yang bersumber dari agama-agama dan
kepercayan adalah sebagai konsekuensi politik dan sosiologis berbangsa dan
bernegara. Banyak norma hukum yang terkandung di dalam agama-agama yang bisa
diadopsi menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan, tapi tidak sedikit
juga norma non hukum dalam agama-agama dan kepercayaan yang justru lebih mulia
dan tetap dipatuhi oleh pemeluknya, dibandingkan jika ia dipaksakan untuk
ditampilkan secara formal dalam sebuah kebijakan negara.
5. Hukum Adat
Sama
dengan agama-agama dan kepercayaan pada uraian di atas, bangsa ini juga
memiliki beragama hukum adat yang masih hidup di tengah masyarakat. Hukum adat,
kecuali yang sudah menjadi sistem dan diadopsi secara nasional, ia juga tidak
bisa semuanya digeneralisir sebagai suatu norma yang dapat ditampilkan di aras
publik dan mengikat semua orang. Karena fakta sosiologisnya bangsa Indonesia
terdiri dari beragam adat. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan kearifan
adat dan nilai serta norma yang dimiliki oleh sebuah komunitas adat dapat
diobyektivikasi dan diakui oleh semua orang sehingga ia bisa dikualifikasi
sebagai norma hukum, dan kemudian diadopsi menjadi muatan peraturan
perundang-undangan.
6. Hukum
Internasional
Hukum
internasional, baik berupa perjanjian internasional, ratifikasi kovenan dan konvensi
yang dikeluarkan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau badan internasional
lainnya, merupakan sumber atau referensi yang bisa dirujuk dalam merumuskan
peraturan perundang-undangan. Bahkan untuk beberapa kovenan dan konvensi yang
sudah diratifikasi, sesungguhnya ia telah mengikat secara hukum (legally
binding), yang harus dirujuk dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan.
E. Data Urutan
Perundang-Undangan RI Menurut
Ketetapan MPR
Tata perundang-undangan diatur dalam :
Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib
hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia.
Urutannya yaitu :
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
3. UU;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan Pelaksana yang terdiri
dari : Peraturan Menteri dan Instruksi Menteri.
Ketentuan dalam
Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Undang-Undang.
Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, tata urutan peraturan
perundang-undangan RI yaitu :
1. UUD 1945;
2. Tap MPR;
3. UU;
4. Peraturan pemerintah pengganti UU;
5. PP;
6. Keppres;
7. Peraturan Daerah;
Ketentuan dalam
Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan ini, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. UU/Perppu;
3. Peraturan Pemerintah;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah.
Ketentuan dalam
Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Ketetapan MPR;
3. UU/Perppu;
4. Peraturan Presiden;
5. Peraturan Daerah Provinsi;
6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
No comments:
Post a Comment